NTAIPU NAHU SURAMPA DOU MA LABO DANA” adalah falsafah yang menjadi pijakan kepemimpinan Bima. Falsafah itu coba diusung oleh masyarakat Bima dalam menyongsong kepemimpinan arif profesional yang memihak pada kepentingan umum. Muasal falsafah tersebut diintrodusir sejak zaman kesultanan Bima. Makna falsafah di atas sangatlah mendalam. Mengandung pesan bahwa seorang pemimpin agar sadar akan kapasitasnya sebagai pemimpin. Pemimpin Bima dituntut menguasai geografi Bima dan karakter masyarakat yang dipimpinnya. Hakikatnya, falsafah tersebut sebagai pengikat amal tanggung jawab dalam mengayomi penduduk Bima.
Beragam sejarah tentang Bima yang menarik dipelajari. Misalkan, Bima dilihat dari aras politik, strategi birokrasi pemerintahan, ekonomi maupun sosial budayanya. Dalam konstelasi komunitas budaya Indonesia sebelum imperium Majapahit, Bima tempo dulu dideklarasikan oleh Raden Wijaya Baru pada tahun 1293 Masehi dari tumapel (Malang).
Ditemukan dokumen sejarah Kota Bima lama (Kitab BO) mengalami redusir hebat oleh aparat kesultanan dengan alasan kitab itu tidak islami. Kitab tersebut memberitakan betapa maju dan jayanya Bima tempo dulu. Tentu, masa kegemilangan Bima kala dulu kontras dengan kondisi Bima saat ini. Bima kini bertanahkan gersang, penuh polusi dan kedaulatan ratusan ribu rakyatnya digenggaman kekuasan elit yang tak bertanggung jawab.
Ditilik dari arsip sejarah perjuangan kemerdekaan melawan penjajahan Belanda, Bima dinafikan dari catatan salah satu daerah yang bersemangat gigih mengusir kolonial Belanda. Bima pada tahun 1964 dipimpin sultan Khair Sirajuddin. Dia adalah raja yang mengukuhkan Islam sebagai payung hukum dengan harapan Bima berada pada kondisi yang aman dan sejahtera. Sultan Khair menikah dengan adik perempuan Raja Goa, yang sebelumnya sudah berkoalisi melawan penjajah. Sebab terlibat persaingan dagang yang kurang sehat antara VOC --yang merupakan serikat dagang Belanda-- dengan Goa mengakibatkan perang yang tak terelak antara keduanya. Dalam permusuhannya dengan Goa, VOC didukung oleh kekuasaan anti Goa yang dipelopori Agung Palapa.
Bima sebagai sahabat setia Goa, ikut mengambil bagian dari peperangan sengit tersebut. Sultan Khair Sirajuddin sebagai panglima perang bersama panglima perang Goa, Karaeng Bonto, mengikutsertakan ribuan pasukannya. Akhirnya, kemenangan pun tak tertampik berada ditangan VOC, dan sultan Bima menjadi buronan VOC. Kekalahan perang itu membawa petaka bagi Bima. Hingga kini yang dicatat sebagai pahlawan nasional adalah Sultan Hasanuddin dari kesultanan Goa. Sementara Sultan Bima hanya dikenang sebagai buronan tentara VOC. Ironi sekali, Goa yang sebelumnya menjadi patner Bima, telah ikut menyetujui penengkapan Sultan Khair melalui Perjanjian Bongaya yang terbit pada tanggal 18 Desember 1667. Perjanjian tersebut di tandatangani sendiri oleh sultan Hasanudin yang mana pada pasal 15 menyatakan Goa harus menyerahkan sultan Bima dalam kedaan hidup atau mati dalam jangka 10 hari. Bima telah kehilangan pahlawan nasional yang semestinya tercatat dalam rentetan sejarah melawan penjajah. Sangat disayangkan, masyarakat Bima malah hampa greget mengusung hal itu dan tidak melacak sejarah pahlawan Bima.
Tentang silang sengkarut dan perdebatan akut pahlawan Bima masa lampau, buku ini memaparkan bahan dasar bagi masyarakat Bima dalam membangun kembali perjuangan Bima. Buku inipun mengulas kondisi Bima yang kini kian terpuruk diamuk dinamika globalisasi. Misalnya, di daerah Bima ada sebuah tanaman unik yang disebut Garoso Mbolo, yang bisa dijadikan minuman, namun tanaman itu tidak diolah secara maksimal, sehingga tanaman tersebut hanya menjadi tanaman liar.
Buku ini hadir berkat ikhtiar gigih aliansi Kerukunan Keluarga Pelajar dan Mahasiswa Bima Malang (KKPMB Malang) yang peduli akan nasib masa depan daerahnya. Hal baik seperti ini wajib ditiru oleh organisasi daerah lainnya guna memberi sumbangsih pembangunan daerahnya masing-masing.
Kendati pun, buku ini penting dijadikan bahan referensi, khususnya bagi masyarakat Bima, lebih-lebih bagi para pejabat-pejabat daerah Bima, yang disebut dalam buku ini kurang berperan dalam membangun daerah Bima. Buku ini tidak melulu fokus membahas kondisi Bima secara khusus, namun juga mengeksplorasi peran dialektika Bima dalam pembangunan Indonesia.
Judul Buku :
Bima Dalam Menyongsong Dinakmika Global (Kumpulan Tulisan dalam Merajut Masa Depan Bima)
Penulis:
Muhammad Fauzi Ahmad dkk
Kata Pengantar Prof. H. Umar Nimran, MA., Ph.D
Penerbit Kerukunan Keluarga Pelajar dan Mahasiswa Bima Malang
Cetakan I, 2008 Tebal xvi + 238 hlm
Peresensi Masruroh Kholik*
*Masruroh Khalik, Peneliti Organisasi Daerah (ORDA) di Malang.
Sumber :
http://www.bimakab.go.id/index.php?pilih=news&mod=yes&aksi=lihat&id=623
Minggu, 24 Januari 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar