Minggu, 24 Januari 2010

Kebijakan Bumi Sejuta Sapi

Bumi Sejuta Sapi (BSS) adalah wilayah pengembangan peternakan sapi di NTB di mana telah tercapai populasi optimal sesuai dengan daya dukung wilayah (carrying capacity). Kata sejuta tidak berarti angka mutlak, tetapi merupakan visi yang mengandung semangat untuk mempercepat tercapainya populasi optimal melalui program terobosan NTB BSS. Jenis sapi yang dikembangkan terutama adalah sapi Bali disamping jenis sapi lainnya seperti Hissar, Simental, Limousin, Brangus, Frisien Holstein, Brahman, dan sapi-sapi hasil persilangan berbagai jenis tersebut.

Program NTB BSS adalah program percepatan (akselerasi) pengembangan peternakan sapi dengan lebih mengutamakan pemberdayaan sumberdaya lokal dengan tujuan agar sesegera mungkin dapat tercapai populasi optimal sesuai dengan daya dukung wilayah sehingga peternakan sapi di NTB dapat memberikan kontribusi yang besar terhadap pendapatan masyarakat pedesaan, memenuhi kebutuhan daging nasional, memenuhi permintaan bibit sapi bagi daerah-daerah lain, dan memenuhi kebutuhan konsumsi daging dalam daerah. Dengan demikian, secara tidak langsung peternakan sapi diharapkan dapat menjadi lokomotif penggerak atau pengungkit sektor ekonomi lainnya dalam rangka meningkatkan perekonomian, kesehatan, kecerdasan dan kesejahteraan masyarakat.

Isu strategis dalam NTB BSS dikonsentrasikan pada 7 (tujuh) permasalahan yang paling penting dalam pengembangan sapi di NTB, yaitu :

1) Populasi, produksi, dan produktivitas ternak sapi belum optimal;

2) Tata ruang padang penggembalaan belum ada sehingga pemanfaatannya belum optimal;

3) Pemanfaatan teknologi pakan, lahan berbasis pakan, dan limbah pertanian/industri belum optimal;

4) Penyediaan daging ASUH (Aman, Sehat, Utuh dan Halal) masih terbatas;

5) Pengembangan SDM dan kelembagaan belum efektif dan efisien;

6) Sarana dan prasarana untuk pengembangan peternakan sapi belum memadai;

7) Investasi dalam bidang peternakan masih sangat terbatas.

Dalam upaya peningkatan populasi, produksi, dan produktivitas sapi ditetapkan empat kebijakan pokok, yaitu:
1) 3S (Satu induk–Satu anak–Satu tahun): tujuan kebijakan ini untuk mengoptimalkan produktivitas induk sapi, sehingga meningkatkan jumlah kelahiran pedet;


2) Pengendalian pengeluaran sapi bibit betina: kebijakan ini berupa pembatasan pengeluaran sapi bibit betina selama tiga tahun pertama program NTB BSS (2009-2011), yang semula sekitar 13.000 ekor menjadi 8.500 ekor per tahun. Dengan pembatasan pengeluaran sapi bibit betina selama periode tertentu maka jumlah induk pada periode berikutnya akan meningkat;

3) Pengendalian pemotongan betina produktif: kebijakan ini berupa upaya pengurangan persentase pemotongan betina produktif terhadap jumlah pemotongan tercatat, dari 20% pada Tahun 2009 menjadi 10% pada Tahun 2013 dan 5% pada Tahun 2018. Kebijakan ini merupakan bagian dari upaya meningkatkan jumlah induk produktif;

4) Pengendalian penyakit pedet: kebijakan ini berupa upaya pengurangan jumlah kematian pedet yang diakibatkan oleh parasit dengan memberikan obat cacing gratis untuk pedet umur 1 sampai 6 bulan. Kebijakan ini penting karena hampir 70% kematian pedet diakibatkan oleh parasit;

Tata ruang padang penggembalaan di wilayah Pulau Sumbawa perlu diatur sehingga pemanfaatannya menjadi optimal. Selama ini pemanfaatan padang penggembalaan bersifat turun-temurun, tanpa melibatkan campur tangan pemerintah untuk perbaikan ataupun perlindungannya. Oleh karena, itu dalam upaya membuat tata ruang padang penggembalaan ternak diperlukan kebijakan:
1) MOU Gubernur dengan Bupati se-Pulau Sumbawa: dengan MOU ini dapat dibuat regulasi tata ruang dan pemanfaatan lahan-lahan yang memungkinkan untuk dijadikan padang penggembalaan;

2) Penerbitan sertifikat lahan untuk padang penggembalaan (Lar bahasa Sumbawa, So bahasa Bima).

Pakan ternak merupakan faktor pembatas dalam pengembangan peternakan sapi. Sementara ini pakan ternak ruminansia, terutama sapi, berasal dari padang penggembalaan, sebagian wilayah hutan, rumput alam pada lahan-lahan yang tidak digunakan untuk pertanian, dan limbah/hasil sisa produksi pertanian dan industri. Lahan-lahan sumber pakan tersebut ke depan cenderung semakin sempit sehingga ketersedian pakan ternak akan berkurang. Oleh karena itu, introduksi teknologi pakan ternak sangat diperlukan sehingga mengurangi ketergantungan ketersediaan lahan untuk pengembangan ternak sapi. Dalam hal ini diperlukan kebijakan:
1) Regulasi integrasi antar sub sektor dan lintas sektor: kebijakan ini penting karena terkait dengan pemanfaatan lahan perkebunan, kehutanan, dan pertanian tanaman pangan sebagai sumber pakan ternak. Selain itu perlu bekerja sama dengan sector lain, misalnya dengan Dinas Perdagangan dan Perindustrian serta Dinas Koperasi dan UKM dalam pembangunan pabrik pakan ternak;

2) Pembangunan pabrik pakan ternak ruminansia: untuk sementara pabrik pakan ternak dibangun di wilayah Pulau Lombok terutama untuk memenuhi kebutuhan pakan sapi penggemukan.

Peningkatan kapasitas SDM petugas dinas, penyuluh, dan peternak, serta penguatan kelembagaan peternakan sapi baik secara kuantitatif maupun kualitatif sangat dibutuhkan dalam program NTB BSS. Kebijakan-kebijakan penting yang diperlukan dalam hal ini adalah:
1) Revitalisasi penyuluhan peternakan: kebijakan ini bertujuan untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi kerja penyuluh;

2) Pengembangan kelompok tani-ternak: kebijakan ini bertujuan agar kelompok tani-ternak menjadi lembaga pemberdayaan dengan manajemen modern, bukan hanya sekedar untuk mengatasi pencurian ternak;

3) Pengembangan institusi pendukung: kebijakan ini bertujuan agar institusi-institusi pendukung program NTB BSS, seperti Lembaga Perkreditan, Lembaga Penelitian dan Pengembangan, Lembaga Penyuluhan, Puskeswan, Pasar Hewan, dan sebagainya dapat berfungsi optimal.


Sumber :
Blue Print NTB BUMI SEJUTA SAPI Pemerintah Provinsi NTB 2009
http://www.sumbawanews.com/berita/bisnis/kebijakan-bumi-sejuta-sapi.html
16 Desember 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar